Jauh sebelum dikuasai oleh Pemerintah Belanda, Bali terdiri dari sembilan Kerajaan kecil-kecil yaitu: Buleleng, Jembrana, Bangli, Tabanan, Karangasem, Gianyar, Mengwi, Klungkung dan Badung.
Sebagai Raja tertinggi dari semua Kerajaan ini adalah raja Klungkung yang terkenal dengan sebutan Dewa Agung Klungkung, Pada akhir abad ke XIX tinggallah 8 kerajaan karena Mengwi telah ditaklukan oleh Badung, berturut-turut dalam peperangan 1814, 1880, dan terakhir 1892.
Peristiwa yang paling penting dalam sejarah Kabupaten Badung adalah Puputan Badung yaitu, perang habis-habisan sampai tetes darah yang terakhir melawan Penjajah Belanda. Peristiwa tersebut terjadi pada hari Kamis Kliwon tahun Caka: 1828 (20 September 1906) saat dimana Badung jatuh ke tangan belanda.
DARI TAHUN 1906 s.d 1942
Pemerintah berada ditangan penjajah Belanda Daerah Badung merupakan suatu Onderafdeling yang dikepalai oleh seorang Asintent Resident yang berkedudukan di Denpasar. Dengan adanya Zustelling berstuurder tanggal 1 juli 1938. Pemerintah menjadi Zelf berstuurnd Landskap (kerajaan), dikepalai seorang Raja gelar Tjokorda Negara Badung ( Staasblad Hindia Belanda 1938, No. 529), berada di bawah dewan yang bernama Paruman Agung yang diketuai oleh Resident van Bali en Lombok yang berkedudukan di Singaraja pemerintahan seperti ini berlangsung sampai tahun 1942.
DARI TAHUN 1942 s.d 1945
Selama pendudukan Bala tentara Jepang tidak terjadi perubahan Pemerintahan yang Prinsipil, hanya gelar Tjokorda Negara Badung dirubah dan diganti menjadi Badung Sutjo. Dengan lahirnya Undang-undang No. 1 tahun 1957, tentang pokok pemerintahan Daerah, maka dihapuskan kedudukan semua swapraja menjadi Daerah Tk II Badung dan Daerah Bali sendiri menjadi Daerah Tk I.
Undang-undang No 18 Tahun 1965 yang merupakan penyempurnaan Undang- Undang No. 1 Tahun 1957, maka susunan Pemerintahan daerah berubah nama dan wewenang kekuasaannya untuk Daerah Kabupaten menjadi Bupati Kepala Daerah Kabupaten sebagai Kepala Daerah Kabupaten sebagai Kepala Daerah merangkap sebagai Wakil Pemerintahan Pusat,
Sejak pemerintah Belanda sampai dengan pemerintah Jepang yang pada waktu itu juga berkuasa di Bali, di daerah hukum pengadilan Negeri Denpasar yang meliputi wilayah Kabupaten daerah Tingkat II Denpasar dan Badung, badan peradilannnya adalah Pengadilan Swapraja , yang disebut Majelis Kerta di Denpasar atau “Raad Van Kerta” yang langsung diketuai oleh Kepala Swapraja yang disebut dalam istilah Belanda “de self bestuurder” dan kemudian pada waktu pemerintahan Jepang (dai Nippon) disebut dengan istilah “Syuco”. Setelah kemerdekaan RI (RI-RIS) disebutkan“Raja/Ketua Dewan Pemerintah swapraja”.
Pada tahun 1951 dengan berlakunya undang-undang Darurat No. I Tahun 1951 dengan dihapuskannya Pengadilan-pengadilan Swapraja, daerah Swanantra di Bali maupun daerah-daerah lainnya di wilayah Republik Indonesia, maka dibentuklah Pengadilan-pengadilan Negeri salah satunya Pengadilan Negeri Denpasar.